Thursday, June 05, 2008

Hemat itu Gaya






Ibu sangat terkesan dengan artikel yang dimuat di kompas (24 Mei 2008) di lembar Klasika. Pada saat BBM naik, ibu-ibu rumah tangga menjerit Harga harga merayap naik, melampaui besar kenaikan gaji di kantor.
Sudah saatnya merubah pola pikir tentang pengeluaran & gaya hidup Artikel ini cukup bisa mengarahkan bagaimana pola pikir itu seharusnya.







Simak tulisan Eileen Rachman & Sylvina Savitri ini.

HEMAT ITU GAYA

Dapatkan satu set dapur ‘branded’, ditambah satu jaket kulit eksklusif, bila Anda membeli apartemen sebelum akhir bulan ini”, “Bagi putra-putri Anda, mainan kecil selama penerbangan”. Serbuan promosi ini, kesemuanya ditanggapi oleh kita-kita, baik yang kaya maupun miskin, yang perlu ataupun tidak memerlukan, dengan ungkapan:”Kenapa tidak?”. Apakah sesudah itu jaket maupun mainan dibuang ke tong sampah karena tidak cukup “berharga” untuk disimpan, itu urusan lain. Yang penting, kita “mendapatkan”-nya.



Tanpa sadar perilaku konsumsi kita sudah berjalan tanpa pikir panjang lagi. Kita tidak terlalu mem
pedulikan lagi, apakah kita menjalankan “over consumption” yang diikuti perilaku membuang sampah, sesaat menggunakan produk kemudian mengganti lagi dengan produk lain atau mengikuti tren produk selanjutnya. Gejala “overconsumption” ini sudah menggejala di setiap lapisan masyarakat secara menyedihkan. Tengok betapa seorang yang berpenghasilan di bawah satu juta rupiah membelanjakan uangnya untuk membeli pulsa ponsel. Seberapa pentingnyakah komunikasi instan ini bagi dirinya?

Seiring dengan ajakan banyak pihak termasuk pemerintah untuk mengencangkan ikat pinggang, semakin gencar pula para produsen bersaing melalui upaya pemasaran yang gila-gilaan. “Lima puluh persen diskon untuk makan di restoran ternama, selama 3 bulan ini” Alhasil, makanan restoran yang dulunya kita nikmati sedikit-sedikit dan perlahan-lahan sekarang kita konsumsi lebih banyak, bahkan kadang sampai terbuang percuma. Meskipun beberapa orang tua masih kerap menasihati putra-putrinya untuk “Ingat pada yang tidak punya makanan”, namun konsumsi makanan (baca: berlebihan) tetap berjalan terus.

Kita jadi sadar bahwa kita berada ditengah ambivalensi perasaan dan evaluasi mengenai realitas sosial dan konsumsi kita sendiri. Keadaan yang kita sadari ini pun ingin kita ubah, namun tenaga serasa tidak cukup untuk berubah dan mengubah gaya hidup seketika. Tanpa terasa badai konsumsi sudah begitu kuat mewarnai hidup kita dan sudah kita anggap sebagai kebutuhan pokok. Keluarga menengah yang tinggal, misalnya di bilangan Bekasi, sering kita lihat mengupayakan untuk punya mobil dua. “Saya bekerja di Tangerang dan istri berkantor di daerah Sudirman. Kami tidak punya pilihan. Kalau tidak menggunakan 2 mobil, kami tidak punya waktu untuk keluarga.” Kenyataan seperti ini seolah berbunyi “no way out”, yang kemudian bisa membuahkan sikap apatis, tidak berdaya, tanpa ancang-ancang langkah mundur bila, misalnya, harga BBM melonjak dan tidak terbayarkan lagi.

Cerminan diri

Semenjak tahun 80-an, keberadaan mal-mal indah, sejuk dan nyaman seakan menjadikan kegiatan “shopping” sebagai ritual yang sah, bahkan dijadikan sarana untuk mengumandangkan “Siapa saya” alias identitas diri. “Apa yang kita beli dan konsumsi, adalah cerminan dari diri kita”. Tanpa sadar kita sudah berada pada situasi di mana konsumsi tidak ada hubungannya dengan “biaya” dan kebutuhan. Konsumsi adalah “impulse”, yaitu reaksi impulsif yang secara sengaja dipelajari dan didalami oleh kaum “marketers” yang berusaha untuk menyasar para konsumen agar lebih mengkonsumsi dan mengkonsumsi lagi. Operator telpon, penjual minuman, bahkan rokok sangat menyadari bahwa konsumen yang paling empuk adalah remaja. Dan, karenanya remaja di ninabobokan dengan konsumsi yang mudah, ringan tetapi adiktif, menjebak, dan sulit bisa lepas lagi. Pertanyaannya, mungkinkah kita kembali ke era di mana kita melakukan “reasonable & reflective consumption”, dan dengannya berpikir keras mengenai kuantitas dan kualitas barang yang kita konsumsi?

Antara “Punya” dan “Berbagi”

Saya teringat kebiasaan ayah saya di tahun 60-an, yang setiap pagi hari pukul 6 berangkat dari rumah di Cilandak dan mengangkut beberapa anak sekolah langganan sepanjang Jl Fatmawati, yang sudah seolah ber-“gentleman agreement” untuk berangkat bersama. “Daripada kosong”, begitu komentar ayah saya, yang dengan bangga mengendarai Austin Thames-nya, mobil pribadi pertama yang dimilikinya. Memiliki mobil, pada jaman itu merupakan prestasi yang sangat dibanggakan, tetapi kemudian, berbagi fungsi dan kemudahan membuat hidup lebih bermakna lagi. Mengapa di jaman sekarang, kita tidak kunjung bisa menanggulangi jalan macet dengan berbagi? Bahkan, kita menghalalkan pelanggaran dengan memanfaatkan para “joki” demi “privacy” alias “selfishness” . Gaya hidup “berbagi” memang tidak terlalu populer di kalangan ‘gaul’ , dibandingkan dengan isu “mempunyai”. Di sinilah budaya “selfishness” tumbuh subur tanpa sadar bahwa dengan memanfaatkan dan menikmati kebersamaan dan hubungan sosial, kita bisa lebih sejahtera. .

Berhemat itu canggih

Isu “matre” atau sikap materialistis nampaknya sudah kuno, basi, tidak signifikan lagi, karena kita memang sudah terbiasa, bahkan terbelenggu menjadi ‘konsumen setia’. Kemudahan dan keuntungan sebagai pemegang kartu kredit dan kartu debet dan segala macam kemudahan berutang menjadikan kita tidak kuasa lagi untuk setiap kali, berhenti sejenak, berpikir dan mempertimbangkan tentang pengeluaran uang, ongkos, serta kegunaan dari barang, produk maupun jasa yang kita konsumsi. Nampaknya untuk berhemat, semua dari kita perlu “start from scratch” dan berpikir sangat keras, merekayasa dan mendesain suatu pendekatan yang lebih manusiawi ketimbang komersialisasi, lokal ketimbang global, dan membuat sendiri ketimbang membeli, demi menyelamatkan kesejahteraan fisiologis, psikologis, emosional dan spiritual.


(Ditayangkan di KOMPAS, 24 Mei 2008)